Berbuka ketika Safar (Perjalanan)
Berbuka atau Berpuasa yang Afdhal bagi Musafir?
Seperti sudah kita ketahui bahwa musafir boleh berbuka puasa sebagaimana Allah berfirman: “Barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan maka mengganti puasa di hari yang lain”,
Ulama fiqih –Rahimahumullah- telah berselisih pendapat
dalam menentukan jarak perjalanan yang dibolehkan mengambil rukhsah
perjalanan. Ulama mazhab Hanafi mereka tidak menentukan jarak tapi
menjadikan perjalanan yang memakan jarak tempuh tiga hari dengan
berjalan biasa. Sedangkan jumhur fuqaha’ yaitu ulama mazhab Maliki,
Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa perjalanan yang boleh ruhkshah
yaitu perjalanan yang dianggap safar yaitu melebihi 80 km. Jarak bukan dihitung dari rumah musafir, tetapi dari batas kota tempat tinggalnya ke batas kota tujuan, harus lebih dari 80 km.
Ulama fiqih telah sepakat bahwa seorang musafir mendapatkan
banyak keringanan dalam masalah hukum, dan keringanan itu karena
sesungguhnya perjalanan melelahkan dan berat, bahkan perjalanan
merupakan sebagian dari azab. Rasulullah SAW bersabda: “Perjalanan
itu sebagian dari azab, yang menghalangi seseorang untuk makan dan
minum, jika perjalanannya telah selesai maka segeralah ia menuju
keluarganya”. (Muttafaqun’laihi)
Tetapi pertanyaan yang sering diajukan: jikalau perjalanan
tersebut tidak ada kesulitan, seperti melakukan perjalanan dengan mobil
atau pesawat terbang yang dilengkapi dengan tempat tidur yang nyaman dan
ruangan ber-AC tidak ada kesusahan dalam perjalanan tersebut, apakah
boleh mengambil keringanan puasa dalam perjalanan tersebut?
Jawaban
: Para ulama telah menetapkan bahwa perjalanan sebab yang dibolehkan
mengambil keringanan hukum, walau tidak ada dalam perjalanan tersebut
kepayahan. Benar, bahwa kepayahan dalam perjalanan merupakan hikmah yang
karenanya boleh mengambil keringanan (rukhsoh) bagi musafir, akan
tetapi tatkala hikmah tersebut tidak ada ukuran, maka sesuatu yang
dianggap kesulitan pada satu waktu, atau seseorang, terkadang menjadi
tidak ada kesulitan pada waktu lain atau menurut orang lain. Maka
perjalanan yang panjang merupakan kesulitan yang menjadi sebab bolehnya
mengambil rukhsoh.
Imam Qarafi berkata: “Sesungguhnya sifat yang dianggap
dalam suatu hukum apabila memungkinkan terwujudnya tidak boleh berpaling
kepada yang lain seperti sebab haramnya khamar karena memabukkan,
sekalipun tidak terwujud mabuk tetap di posisikan hukum mabuk, karena
tidak terjadinya mabuk boleh jadi disebabkan kadar yang berbeda. Sama
halnya seperti kesusahan dalam perjalanan tatkala ia merupakan sebab
untuk bolehnya meringkas sholat dan yang mana kesusahan tersebut tidak
dapat diukur serta kemampuan manusia yang tidak sama dalam menahan
kesusahan, terkadang tampak jelas dan terkadang tidak tampak, seperti
ini sulit menetapkan standar hukumnya; maka dihukumi hanya dengan
perkiraan yaitu 4 bard (lebih dari 80 km) yang diperkirakan terdapat
padanya kesulitan dalam perjalanan”.
Walaupun dengan berkembangnya sarana transportasi modern
tidak dapat dipastikan tidak adanya kesusahan dalam perjalanan, karena
sesungguhnya para musafir kebanyakan tidak tenang pikirannya dalam
perjalanan, pikirannya selalu di was-was; seperti mobil rusak atau
pesawat jatuh, dll. Kesusahan bisa saja datang tiba-tiba tanpa
diperkirakan sebelumnya.
Oleh karena itu boleh berbuka bagi orang musafir, walaupun
ia bersafar menggunakan pesawat atau mobil yang ber-AC atau pada waktu
musim dingin. Boleh bagi musafir yang bersafar dengan pesawat untuk
berbuka dan mengqhosor sholat dalam perjalanan satu jam atau kurang dari
satu jam, selama masih dianggap perjalanan dan menempuh jarak
perjalanan yang membolehkan untuk qhosor.
Boleh juga bagi orang yang terus menerus melakukan
perjalanan tetapi mereka mempunyai keluarga dan tempat mukim seperti
supir bus antar kota, sopir ekspedisi, pilot, masinis dan pramugarinya
dan lain-lain untuk mengambil rukhsoh perjalanan, seperti bolehnya
qoshor sholat dan berbuka puasa dalam perjalanan, karena pada hakikatnya
mereka seorang musafir, dan mereka wajib mengganti apabila kembali
kepada keluarga atau pada musim dingin karena demikian lebih meringankan
mereka.
Mana yang afdhal bagi musafir, berbuka atau berpuasa?
Terjadi perselisihan di antara ulama dalam hal ini, namun pendapat yang lebih kuat dengan dirinci seperti berikut ini :
- Jika musafir mendapatkan kesulitan dalam perjalanan walaupun sedikit maka yang lebih baik adalah berbuka karena perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah lebih mencintai untuk diambil keringananNya sebagaimana mencintai melakukan kewajiban-kewajiban yang ia wajibkan” dan pada riwayat yang lain “Sebagaimana ia membenci orang-orang yang melakukan maksiat-maksiat”.
- Jika musafir menemui kepayahan yang sangat besar maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ”Bukanlah suatu kebaikan berpuasa dalam suatu perjalanan”.
- Jika tidak adanya kesusahan dalam perjalanan maka tidak diragukan lagi lebih baik berpuasa.
Karena sesungguhnya berpuasa saat ini lebih cepat dalam
menunaikan kewajiban dan memudahkan juga bagi mukallaf. Berpuasa
bersama-sama dengan orang yang berpuasa di bulan Ramadhan lebih mudah,
daripada menggantinya dihari yang lain. Ini juga yang dilakukan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; yang mana ia berpuasa dalam
perjalanan karena ia tidak terbebani berpuasa pada perjalanan
sebagaimana orang lainnya.
nilah masalah kedua yaitu masalah yang terkait dengan puasa bagi
orang yang safar (dalam bepergian). Yaitu bahwa rukhshah (keringanan)
untuk membatalkan puasa diberikan kepada orang yang safar. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ
“Dan barang siapa dari kalian yang sakit atau sedang safar maka mengganti di hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184)فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ
Lafazh “atau sedang safar” dalil yang menunjukkan bahwa sebab bolehnya membatalkan puasa adalah adanya safar, bukan karena adanya beban berat dalam bersafar. Karena sebagian ahli fiqih menggantungkan bolehnya membatalkan puasa itu karena ada beban berat saat safar, sehingga mereka mengira bahwa safar yang tidak terasa beban berat padanya tidak boleh mengambil rukhshah untuk membatalkan puasa. Dan hal ini tidaklah benar, karena alasan ini tidaklah disebutkan, tidak dalam Al-Qur’an tidak bula dalam hadits. Bahkan yang benar dengan terjadinya safar itu saja sudah cukup menjadi alasan untuk bolehnya membatalkan puasa. Setiap orang yang safar, jauh ataupun dekat, terasa berat ataupun tidak maka telah diberi keringanan untuk membatalkan puasa. Ini dari segi pendalilan.
Adapun dari segi alasan logis kebanyakannya orang yang safar itu urusannya tidak menentu sehingga kondisinya tida seperti kondisi orang yang tidak safar, maka cocoklah penetapannya padanya. Bahwa orang yang puasa dalam safar meskipun tidak berat terbebani akan tetapi bisa jadi ada unsur rasa berat, sementara Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan tidaklah Allah menjadikan atas kalian pada agama ini suatu rasa berat.”
Jika safar tersebut dilakukan dengan pesawat yang berAC dan hanya dengan waktu yang singkat apakah sudah bisa jadi rukhshah untuk membatalkan puasa?
Jawab: Ya, boleh baginya untuk membatalkan puasa. Karena safar itu sendiri adalah sebab keringanan untuk membatalkan puasa, sebagaimana dalam lafazh “atau sedang safar”.
Yang utama bagi musafir itu berpuasa atau membatalkan puasa?
Jawab: Pada pemasalahan ini ada perbedaan di kalangan ulama. Yang paling mendekati kebenaran adalah bahwa seseorang diberi pilihan.
1. Yang utama bagi orang yang merasa tidak ada rasa berat dalam puasa ketika safar maka baginya puasa lebih utama. Hal ini berdasarkan riwayat yang shahih dalam Ash-Shahih yang mengisahkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam puasa dalam safar bersama Abdullah bin Rawahah yang juga puasa. Maka hal ini menunjukkan bahwa praktek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah puasa ketika safar jika tidak beban berat atau rasa berat padanya.
Oleh karenanya penulis mengatakan “kecuali jika takut akan terbinasakan atau terkena lemah” dan mengisyaratkan pada hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam Ash-Shahihain terkait kisah Hamzah bin ‘Amr Al-Aslamy,
إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ
“Jika engkau mau puasalah dan jika engkua mau berbukalah.”
Berdasarkan hadits yang menunjukkan boleh memilih ini, bagaimana bisa dikatakan bahwa yang utama adalah puasa?
Jawabannya dari dua sisi:
Sisi pertama: Hadits di atas tidaklah menafikan keutamaan untuk berpuasa, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya ingin menjelaskan peniadaan rasa berat, dan ini terwujud dengan adanya pilihan. Karena pertanyaannya berkisar pada puasa, sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam riwayat Muslim,
أَجِدُ بِى قُوَّةً عَلَى الصِّيَامِ فِى السَّفَرِ فَهَلْ عَلَىَّ جُنَاحٌ
“Aku temukan diriku kuat untuk berpuasa dalam safar, apakah berdosa atasku?”
Jadi dia bertanya tentang apakah dosa kalau puasa makanya jadilah jawabannya bahwa tiada dosa, siapa yang ingin puasa puasalah dan siapa yang ingin tidak puasa maka berbukalah. Dan dalam riawayat Muslim,
هِىَ رُخْصَةٌ مِنَ اللَّهِ فَمَنْ أَخَذَ بِهَا فَحَسَنٌ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَصُومَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ
“Hal itu adalah rukhshah (keringanan) dari Allah, siapa yang ingin memanfaatkannya maka hal itu baik, dan siapa yang suka memilih puasa maka tidak ada dosa baginya.”
Maka hadits tidaklah menfaikan keutamaan untuk berpuasa, karena pertanyaannya berkisar pada dosa dan tidaknya, maka jadilah jawabannya dengan diberi pilihan.
Sisi kedua: Perbincangan dalam hadits tersebut terkait dengan puasa sunnah sebagaimana disebutkan dalam riwayat Muslim bahwa orang tersebut suka untuk puasa sunnah sampaipun dalam safar. Maka bertanyalah dia kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliaupun menjawab “Jika engkau mau puasalah dan jika engkau mau berbukalah”.
Dan perkataan kita bahwa yang utama adalah puasa, hal ini tidak menjadikan kita untuk mengingkari orang yang tidak puasa. Orang yang tidak puasa ketika safar maka kita tidak mengingkarinya, sebagaimana hal ini ditetapkan dalam hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu “bahwa mereka dalam keadaan safar, maka yang puasa tidak mengingkari yang tidak puasa, dan yang tidak puasa tidak mengingkari yang puasa”. Perkaranya itu longgar siapa yang safar kalau mau puasa dipersilahkan dan kalau mau tidak puasa dipersilahkan.
Dan kalau memilih berpuasa karena memang mampu melakukannya maka itu lebih utama. Karena itulah yang dipraktekkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga itu lebih cepat untuk lepas tanggung jawab menunaikan perintah, dan lebih semangat karena hari dan kondisi semua orang sedang puasa.
2. Dan bagi yang merasa berat puasa maka hal ini seperti dikatakan penulis “kecuali jika takut akan terbinasakan atau terkena lemah dalam berperang maka diharuskan berbuka“. Yaitu yang utama baginya adalah tidak puasa.
* Adapun terkait jika takut akan terbinasakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu dalam Ash-Shahihain,
لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِى السَّفَرِ
“Bukanlah merupakan kebaikan puasa ketika safar.”
Dan sebab datangnya hadits ini adalah, bahwa beliau melihat ada kerumunan orang dan ada seseorang telah dinaungi didinginkan dari terik matahari, maka beliau berkata: “Ada apa ini?” Mereka berkata: “Dia orang yang sedang puasa” yaitu dalam safar, dia lelah kemudian pingsan. Maka beliau mengatakan bahwa bukanlah merupakan kebaikan puasa ketika safar. Maka siapa yang merasa beban berat untuk berpuasa meskipun tidak sampai pingsan maka waib baginya untuk membatalkan puasanya berdasarkan hadits di atas.
Maka makna ucapan penulis “diharuskan berbuka” jika dipaksakan puasa akan ada rasa berat, gangguan dan madharat. Jika ditemukan adanya madharat maka wajib memabatalkan puasanya, dan jika tidak ada madharat akan tetapi ada rasa berat maka dianjurkan membatalkan puasanya. Hal ini berdasarkan hadits,
لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِى السَّفَرِ
“Bukanlah merupakan kebaikan puasa ketika safar.”
Dan dalam kaidah umum dalam ilmu fiqih bahwa “Adanya madharat (darurat) itu membolehkan membolehkan sesuatu yang dilarang”. Dan kita diperintahkan untuk menolak madharat, tidak boleh seorang muslim untuk memudharatkan dirinya dan tidak pula memudharatkan orang lain.
* Adapun perkara yang dikecualikan adalah terkena lemah dalam berperang, jika di sana ada peperangan seperti antara kaum muslimin dengan orang kafir atau memerangi pemberontak, maka diwajibkan membatalkan puasa jika puasa itu menyebabkan kelemahan dalam berperang. Hal ini berdasarkaan hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id dalam Sunan Abi Dawud bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika keluar untuk memerangi Makkah beliau akhirnya memerintahkan para shahabatnya untuk membatalkan puasa, dan beliau bersabda,
إِنَّكُمْ تُصَبِّحُونَ عَدُوَّكُمْ وَالْفِطْرُ أَقْوَى لَكُمْ فَأَفْطِرُوا
“Sesungguhnya kalian akan menyerang musuh kalian di pagi hari dan kalian akan lebih kuat jika membatalkan puasa, maka batalkan puasa kalian.”
Ketika beliau melihat adanya kelemahan pada para shahabat maka beliau memerintahkan untuk berbuka, dan pada kondisi seperti ini wajib untuk berbuka.
Demikian para ulama mengambil kaidah “Segala yang wajib yang tidak bisa diraih kecuali dengan membatalkan puasa maka membatalkan puasa dalam kondisi ini adalah wajib”. Dan sebagai contohnya misalnya menyelamtkan orang yang tenggelam, dan jika dia terlalu lemah untuk menyelamatkannya karena sedang puasa, dan tidak kuat menyelamatkannya kecuali harus membatalkan puasa maka dia wajib berbuka demi menyelamatkan orang yang tenggelam. Karena proses penyelamatan ini membutuhkan kekuatan.
Apa yang harus dilakukan seorang musafir yang baru kembali dari safarnya?
Jawab: Sebagian ulama memandang bahwa dia wajib untuk langsung ikut puasa. Dan yang benar adalah dia tidak wajib langsung ikut puasa. Telah datang banyak riwayat yang shahih dari banyak shahabat dan generasi setelah mereka bahwa “Orang yang telah batal puasanya di permulaan hari boleh baginya untuk tetap berbuka di akhir harinya”. Namun hal ini dengan catatan dia batal puasanya karena udzur syar’i yang benar.
Jika ada seorang musafir dan telah memanfaatkan rukhshah untuk berbuka lalu dia sampai kembali ke tempat tinggalnya dalam keadaan telah batal puasanya, maka tidak wajib baginya untuk ikut langsung menahan diri dan berpuasa.
Jika ada wanita haidh atau nifas dan tidak puasa di permulaan harinya, kemudian dia suci dari haidh atau nifas pada pertengahan hari, maka tidak wajib baginya untuk langsung menahan diri dan berpuasa.
Akan tetapi perlu diingat sebagai sikap menghormati bulan puasa dan orang yang puasa maka tidak layak baginya untuk terang-terangan makan minum di depan orang lain. Dan hendaknya makan dan minum dengan tersembunyi di rumahnya.
Apa hukum orang yang menyengaja safar dengan tujuan untuk membatalkan puasa?
Jawab: Tidak boleh menyengaja safar dengan tujuan untuk membatalkan puasa, ini sebagai bentuk penipuan. Dan penipuan tidaklah menambah sesuatu yang haram kecuali menjadi lebih haram, sebagaimana hal ini teriwayatkan dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu dalam Sunan Al-Baihaqy,
قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُومَهَا جَمَلُوهَا ثُمَّ بَاعُوهُ وَأَكَلُوا ثَمَنَهُ
“Semoga Allah membinasakan yahudi, sesungguhnya Allah ketika mengharamkan atas mereka lemaknya, mereka membaguskannya dan menjualnya lalu memakan uang hasil penjualannya.”
Kemudian dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ حُرِّمَتْ عَلَيْهِمُ الشُّحُومُ ، فَبَاعُوهَا وَأَكَلُوا أَثْمَانَهَا ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“Semoga Allah membinasakan yahudi, diharamkan atas mereka lemak, mereka menjualnya dan memakan uang hasil penjualannya. Sesungguhnya Allah jika telah mengharamkan sesuatu Dia jugaa mengharamkan uang hasil penjualannya.”
Siapa yang meniatkan safar untuk berbuka maka dia batal puasanya dan dia berdosa karena batalnya itu, dan juga berdosa dengan penipuannya terhadap syari’at, dia berdosa dua kali lipat. Sesungguhnya amalan itu sesuai dengan niatnya.
Tambahan saduran dari pelajaran Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah Kitab Shiyam dari Shahih Muslim:
Jika safarnya adalah safar untuk maksiat apakah boleh mengambil rukhshah untuk berbuka?
Jawab: Sebagian ulama mengatakan dia tidak disyari’atkan untuk mebatalkan puasanya. Dan sebagian yang laing mengatakan, boleh baginya untuk membatalkan puasanya dan dia berdosa maksiatnya, karena dalam ayat disebutkan “atau sedang safar maka dia mengganti di hari yang lain”, dan tidak dibatasai dengan safar maksiat atau bukan maksiat.
Orang yang berniat safar esok hari.
Maka wajib atasnya untuk berniat puasa di malam harinya dan memulai harinya dengan puasa. Dan jika dia telah bergerak untuk safar maka dia boleh mengambil rukhshah dan membatalkan puasanya.
Kapan dia diperbolehkan membatalkan puasanya?
Jawab: Pendapat jumhur: dia membatalkan puasanya jika telah keluar dari daerahnya. Dan ulama yang lain mengatakan bahwa kalau dia sudah siap safar dan tinggal beranjak maka boleh baginya untuk membatalkan puasanya. Hal ini berdasarkan bahwa Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu sudah siap bersafar lalu didatangkan padanya sesuatu lalu dia memakannya dan embatalkan puasanya, lalu dikatakan padanya: “Apakah ini ajaran Rasulullah?” Dia menjawab: “Iya”.
Namun pendapat jumhur lebih hati-hati, karena terkadang sudah siap safar tinggal jalan lalu terjadi perkara yang membatalkan safarnya.
Sumber: http://thalibmakbar.wordpress.com/2010/08/09/16-hukum-puasa-dalam-safa



Time in Bandung
0 Sahabat:
Posting Komentar