PERSERIKATAN 1979 (GAGAL PROMOSI DAN KEDATANGAN MAREK JANOTA)
Dalam turnamen perpisahan Walikota Surabaya Soeparno, PERSIB
yang juga sedang mempersiapkan timnya menuju Kompetisi Divisi I
diundang bertanding segitiga bersama Jayakarta (klub Galatama dari
Jakarta) dan tuan rumah Persebaya Surabaya. Namun, dalam turnamen yang
digelar pada 2-4 Maret 1979 itu, PERSIB harus puas menempati peringkat juru kunci.
Kemudian
dalam rangka memeriahkan HUT kota Bandung bulan April 1979
diselenggarakan Piala Bandung Urang. Pada turnamen ini, diundang tiga
tim peserta PERSIB, Persebaya, dan Persija. PERSIB
berhasil menjadi Juara meskipun sempat kalah 1-2 dari Persebaya, tetapi
di pertandingan kedua berhasil menggasak Persija dengan skor telak 4-0.
Pertengahan Juni 1979, PERSIB
pun memulai perjuangannya di Divisi I Kejuaraan Nasional PSSI edisi
perdana dengan target kembali promosi ke Divisi Utama. Sebagai peserta
putaran final Kejurnas PSSI 1978 (saat itu belum ada pembagian divisi), PERSIB mendapatkan wild card
langsung bertanding di tingkat zona Jawa Barat. Tidak harus bertarung
dari kampung ke kampung seperti halnya 20 perserikatan asal Jawa Barat
lainnya yang memulai perjuangan dari tingkat rayon, kemudian interayon.
Di tingkat Jawa Barat, PERSIB
yang bersaing dengan empat tim juara interayon, yaitu PSB Bogor,
Persipo Purwakarta, PSIT Cirebon, dan Persigar Garut, tetap tampil
menjadi yang terbaik. Sebagai juara Jawa Barat, PERSIB lolos ke babak "12 Besar" tingkat nasional.
PERSIB
membawa sebanyak 20 pemain perpaduan pemain muda dan senior menuju
babak "12 Besar". Mereka adalah Asep Sukarna, Syamsudin, Boyke Adam
(kiper), Bambang Heribowo, Kosasih, Atang, Rudy Salaki, Risnandar,
Giantoro, Encas Tonif, Ismawadi, Saryoto, Dedi Sutendi, Muhammad Atik,
Nanang, Ade Herry, Herry Fatah, Teten, Tjetjep, dan Itang.
Di babak "12 Besar" (21-26 Oktober 1979) yang berlangsung di Stadion Sriwedari Solo, PERSIB bergabung di Grup B bersama Perseden Denpasar, Persigowa Gowa, dan PSP Padang. Pada pertandingan pertamanya, 22 Oktober 1979, PERSIB tampil kurang mengesankan dan kalah 0-1 dari PSP.
Dua hari berselang, tepatnya pada 24 Oktober 1979, posisi PERSIB
berada di ujung tanduk menyusul hasil imbang 1-1 dengan Persigowa.
Kemenangan yang sudah di depan mata, berkat gol Itang pada menit 42,
lenyap delapan menit sebelum pertandingan bubar, karena Persigowa bisa
menyamakan kedudukan.
Selain baru meraih poin 1, PERSIB berada di ujung tanduk, karena lawan terakhir yang akan mereka hadapi adalah tim tangguh, Perseden. PERSIB
dipastikan bakal tersingkir, jika PSP yang sudah mengantongi nilai 2
berhasil mengalahkan Persigowa pada laga terakhirnya, 25 Oktober 1979.
PERSIB masih bisa bernapas setelah di luar dugaan, Persigowa bisa menumbangkan PSP 2-0. Namun posisi PERSIB tetap saja sulit, karena harus mengalahkan Perseden minimal dengan selisih tiga gol untuk menyingkirkan Persigowa.
Entah apa yang terjadi dengan Perseden, pada laga terakhir yang sangat menentukan nasib PERSIB, mereka takluk. Skornya, persis 3-0, kemenangan dengan jumlah gol minimal yang harus diraih PERSIB untuk mendampingi mereka ke babak "6 Besar". Tiga gol PERSIB yang bersarang ke gawang Perseden disumbangkan Risnandar lewat titik penalti menit ke-8, Tjetjep (35), dan Ismawadi (42).
Sebagai runner-up Grup B, PERSIB
pun melenggang ke putaran final (6 Besar) bersama lima tim lainnya,
PSKB Binjai, Persipal Palu (Grup A), Perseden (Grup B), Persipura
Jayapura, dan PSIS Semarang (Grup C). Di babak "6 Besar" yang dimainkan
di Stadion Diponegoro Semarang, 28 Oktober - 6 November 1979, PERSIB tergabung di Grup D bersama Persipura dan PSKB.
Penampilan kurang mengesankan PERSIB di babak "12 Besar" terulang di putaran final. Akibatnya fatal, PERSIB
gagal promosi ke Divisi Utama pada kesempatan pertamanya, karena tak
mampu lolos ke semifinal, usai bermain imbang tanpa gol dengan PSKB (28
Oktober 1979) dan dikalahkan Persipura 1-2 (30 Oktober 1979). Dalam laga
ini, Persipura mencetak gol cepat di awal laga lewat Panus Korwa dan
Hengky Heipin pada menit 2 dan 4. Gol M. Atik pada menit 75, memang
memperkecil kekalahan menjadi 1-2, tapi Risnandar dan kawan-kawan harus
tetap pulang ke Bandung dengan kepala tertunduk, karena yang lolos ke
semifinal Persipura dan PSKB yang bermain imbang 1-1 di laga terakhir.
Bahkan Persipura akhirnya tampil sebagai juara Divisi I edisi perdana
setelah mengalahkan Persipal 4-0.
Kegagalan PERSIB
pada Kompetisi Perserikatan Divisi I tahun 1979 dan kekisruhan yang
terjadi di internal kepengurusan, sempat mendapat sorotan dari para
legenda PERSIB, seperti Aang Witarsa, Wowo Sunaryo, Rukma
Sudjana, Ishak Udin, dan Parhim. Umumnya mereka menghujat kinerja
pemain, pengurus, dan pola pembinaan PERSIB saat itu.
Aang Witarsa menyebut, godaan materi memengaruhi permainan pemain di lapangan. "Kami dulu bermain tanpa pamrih. Sekarang faktor X-nya memang banyak", kata pemain angkatan pertama PERSIB yang berkostum "Merah Putih" itu.
Sementara Wowo dan Rukma, menyoroti ketidakbecusan pengurus sebagai penyebab kegagalan PERSIB. "Kepengurusan dulu lebih realistis. Sekarang lebih banyak omong kosong", timpal Rukma.
Akhirnya, Solihin G.P. menanggalkan jabatannya sebagai Ketua Umum PERSIB
yang sudah dipegangnya sejak 1976, beliau mengundurkan diri pada Rapat
Anggota Luar Biasa (RALB) pada tanggal 23 November 1979, menyusul
kegagalan PERSIB promosi ke Divisi Utama pada kesempatan pertamanya berjuang di Divisi I PSSI. "Perlu dipilih pengurus yang lebih baik", kata Solihin di depan peserta RALB.
Pengunduran
diri Solihin GP. tersebut menimbulkan pro dan kontra dalam peserta
rapat. Karena terjadi kekisruhan pada saat Rapat Luar Biasa pertama
akibat beberapa kepentingan di lingkungan kepengurusan, maka RALB kedua
pada tanggal 28 Desember 1979 pun kemudian dilaksanakan dan akhirnya
kembali memilih secara aklamasi Solihin GP. sebagai Ketua Umum PERSIB.
Solihin GP., yang sempat mengundurkan diri dan ditolak pencalonannya
pada RALB pertama pun menerimanya dengan sejumlah persyaratan. Dua
syarat utama yang diajukan adalah komposisi kepengurusan harus terdiri
atas orang-orang yang sejalan dan bisa bekerja sama dengannya dan yang
kedua, pengurus juga harus senada dalam pola dasar pembinaan PERSIB.
Dibalik semua konflik internal kepengurusan tersebut, rupanya menjadi titik balik dari keterpurukan prestasi PERSIB.
Pada acara serah terima jabatan itulah, Solihin GP. melontarkan gagasan
mendatangkan seorang pelatih asing asal Polandia, Marek Janota.
Sebelumnya ia sempat menangani Persija Jakarta yang tampil sebagai
kampiun Kejuaraan Nasional PSSI 1979 serta tim nasional Indonesia di SEA
Games 1979.
Oleh Solihin G.P., Janota diproyeksikan menempa talenta muda potensial yang dimiliki PERSIB.
Dalam program kerjanya, Mang Ihin menargetkan bahwa tempaan Janota
harus secara berkesinambungan, setidaknya dalam dua tahun ke depan, PERSIB bisa kembali promosi ke Divisi Utama.
Berkat
bantuan dukungan dari Sukandar, BA., salah seorang pengusaha dan tokoh
sepakbola Bandung, Marek Janota pun didatangkan ke Bandung. Setelah
semua persyaratan yang diminta Janota, seperti rumah, kendaraan, honor
yang konon mencapai 600 dolar AS, dan pekerjaan buat istrinya, disetujui
pengurus PERSIB, pada Februari 1980, Janota merapat di Bandung. Meski sempat diragukan bisa mengangkat prestasi PERSIB oleh sejumlah mantan pemain PERSIB, Janota tetap mulai bekerja. Diawali proses pencarian, mengumpulkannya, dan kemudian menempanya secara berkesinambungan.
Salah
seorang pemain produk Marek Janota adalah Robby Darwis. Pemain belakang
yang di kemudian hari menjadi salah seorang legenda PERSIB dan
tim nasional Indonesia ini, masih sangat belia ketika pertama kali
ditemukan pelatih asal Polandia ini. Ketika itu, usianya belum genap 16
tahun.
Menurut
pengakuan sejumlah anak didiknya, seperti Robby Darwis, Adjat
Sudradjat, Bambang Sukowiyono, Suryamin, dan Iwan Sunarya, begitu
bergabung, Janota langsung menempa seluruh pemain muda PERSIB
secara spartan. Tempaan untuk meningkatkan kualitas fisik pemain menjadi
prioritas pertama Janota. Selain itu, Janota juga menerapkan disiplin
tingkat tinggi. Porsi latihan yang diberikan Janota sangatlah berat.
Kendati demikian, tidak semua anak muda PERSIB sejalan dengan Janota. Adeng Hudaya yang sebenarnya bakatnya sudah “tercium” sejak 2 tahun yang lalu oleh para pencari bakat PERSIB,
menolak bergabung dengan dalih bahwa Janota tidak lebih baik dari
pelatih lokal dan program latihannya tidak sesuai dengan tuntutannya. "Yang saya butuhkan adalah perluasan wawasan bermain sepak bola", cetus Adeng ketika itu.
Apapun
terpaan yang datang, Janota dengan programnya tetap jalan terus. Para
pemain muda kemudian disiapkan untuk ikut berjuang dari kampung ke
kampung ketika PERSIB harus kembali melakoni kompetisi Divisi I di musim yang akan datang.
0 Sahabat:
Posting Komentar